
Foto: Petra Paulina Kurupat (berbaju merah), guru honorer dari SDN Camp 3 Asiki yang sudah dua tahun belakangan mengabdi di sekolah yang berada di pedalaman Papua
PAPUA SELATAN – Sebuah laporan yang melibatkan Kementerian Kebudayaan dan UNICEF memaparkan bahwa guru perempuan asli Papua di daerah pedesaan terpencil dengan infrastruktur pendidikan yang minim dan ekonomi yang lemah berada dalam situasi yang paling rentan.
Guru perempuan di sekolah-sekolah dalam penelitian ini menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan guru laki-laki. Guru perempuan lebih banyak terpapar risiko pribadi, terutama di sekolah-sekolah di dataran tinggi, karena kurangnya akomodasi yang aman di dekat sekolah, jarak yang harus ditempuh jika tidak tinggal di sekitar sekolah, dan potensi risiko kekerasan dari anggota masyarakat setempat.
Guru perempuan yang sudah menikah bahkan harus menghadapi norma sosial tertentu dari masyarakat di mana ada budaya untuk tidak jauh dari suami atau anak-anak kecil mereka, sehingga mempengaruhi tingkat kehadiran mereka di sekolah.
Petra Paulina Kurupat, seorang guru honorer dari SDN Camp 3 Asiki tidak menampik hal tersebut. Namun baginya, kondisi ini sudah mulai banyak berubah. Sekarang, banyak perempuan-perempuan muda Papua yang tergerak mengikuti panggilan jiwanya untuk menjadi seorang pengajar. Dengan tekad yang kuat mereka hadir di ruang-ruang kelas, bahkan di wilayah-wilayah terpencil untuk berbagi ilmu dan menjadi panutan bagi generasi muda Papua.
Sektor swasta juga mengambil peran dalam memberikan dukungan yang diperlukan bagi para guru perempuan di Papua. Salah satu perusahaan swasta yang peduli dengan kondisi guru honorer di Papua Selatan adalah TSE Group. Melalui kegiatan Corporate Social Contribution (CSC) di bidang pendidikan, TSE Group secara rutin memberikan bantuan honor bagi para guru honorer di daerah tertinggal, terdepan dan terluar di Papua. Petra Paulina Kurupat, menjadi salah satu guru yang mendapat bantuan tersebut.
“Kondisi guru honor yang ada di seputaran wilayah perusahaan (TSE Group-red) saya lihat sangat baik. Dengan adanya pemberian bantuan dari perusahaan kepada guru honor itu membantu kami, apalagi kami baru menerima honor 6 bulan sekali, jadi sangat membantu kami punya kebutuhan jadi terpenuhi,” ujar Petra.
Para guru muda ini membawa energi baru bagi anak-anak Papua. Menggunakan pendekatan yang berbeda, serta kepekaan sosial yang tinggi dalam mendampingi proses belajar-mengajar, mereka membuktikan bahwa menjadi pengajar bukan sekadar profesi, melainkan sebuah panggilan mulia yang mampu mengubah nasib banyak orang.
“Saya dua tahun bekerja di SDN Camp 3 Asiki. Dulu murid dan kembali mengajar di sini. Kalau untuk menjalankan tugas, guru honorer dan PNS tidak ada perbedaan, sama saja,” tandasnya.
Langkah berani ibu guru Petra bukan hanya menunjukkan kemajuan dalam kesetaraan gender, tetapi juga menjadi cerminan dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya peran perempuan dalam dunia pendidikan. Dengan dedikasi dan ketangguhan, guru-guru muda ini akan menjadi agen perubahan yang membawa harapan baru bagi masa depan Papua. (PR)